Oleh : Ari Farouq (Ketua Gema
Pembebasan Surabaya)
“Langit semakin suram oleh aroma busuk kedzhaliman
Sedang bumi kering kerontang kehilangan oase keadilan
Rakyat semakin sengsara dalam terpaan sistem durjana
Pejabat makin merajalela dengan kekuasaan yang fana
Sedang para pemagang masa depan sibuk berpesta
Apa yang terjadi ?
Kemana para Mahasiswa?
Kemana suara anak muda dengan kepalan tangannya, Dengan semangat didada
dan gagasan dikepala ?
Hilang, mengjihlang, Kini seakan hilang ditelan zaman. Lenyap bagai senja
yang dibungkam mendung hitam.”
Sudah 72 tahun bangsa ini
memproklamirkan kemerdekaan atas negara penjajah yang telah lebih 3 abad
merampas kekayaan bangsa ini. Meski nyatanya tangan-tangan penjajah masih saja
mencengkeram dan mengoyak kekayaan alam yang semestinya menjadi hak bagi
rakyat. Tidak perlu lagi dengan senjata atau tank-tank perang, maka kini cukup
dengan undang-undang yang dibuat dan disahkan oleh para boneka imperialis. Dan
anehnya, justru mereka inilah yang merasa paling Pancasilais dan cinta pada
negeri. Omong kosong!
Masalah Neoimperialisme dan
penguasaan SDA hanyalah segelintir masalah dari krisis multidimensi yang
melanda bangsa ini. Sistem ekonomi kapitalistik menghasilkan kemiskinan struktural
dan kesenjangan. Begitupun persoalan dalam aspek sosial dan budaya masih
menjadi peer yang belum terselesaikan. Setiap hari berbagai kasus yang menimpa
remaja Indonesia mulai dari narkoba, miras, tawuran pelajar dan pergaulan
bebas. Konflik sosial juga menjadi problem yang masih sulit terselesaikan,
bahkan di era digital ini semakin memanas, nyatanya sistem Demokrasi tidak
mampu mengakomodir keragaman dan perbedaan yang ada. Di aspek lainya pendidikan
dan kesehatan yang harusnya menjadi hak rakyat justru menjadi komoditas yang
diperjualbelikan, rakyat miskin masih sulit mengaksesnya.
Dalam konsisi seperti inilah rakyat
harusnya sadar dan bergerak melakukan perubahan, namun ternyata kondisi yang
sedemikian rusak masih saja tidak membuat sadar sebagian besar rakyat. Kalaupun
ada yang sadar hanya sampai dalam angan-anganya, paling jauh hanya memaki dan
diceritakan ke teman nongkrong di warung kopi.
***
Bagi kalangan mahasiswa ini merupakan
problem yang harus diperhatikan, meskipun hakikatnya ini adalah tugas dan PR
kita semua sebagai rakyat. Namun mahasiswa sebagai entitas yang terdidik,
memiliki segala hal yang lebih dibanding dengan masyarakat pada umumnya.
Mahasiswa sebagai agent of change
harus segera bangun dari tidur panjangnya. Mitos mahasiswa sebagai agent of change jangan sampai malah
menjauh dari realita yang ada.
Meskipun tidak bisa dipungkiri
kondisi mahasiwa hari ini jauh dari harapan akan perannya di masyarakat. Para
mahasiswa disibukkan dengan kehidupanya sendiri, mereka lebih banyak duduk manis
di cafe dan jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Mereka lebih sering muncul di
layar tv sebagai juru keprok, bersorak-sorak meneriakkan nama artis idolanya.
Yang dibicarakanpun bukan lagi kondisi bangsa atau nasib rakyat melainkan
tentang artis idola, trend atau mode
pakaian terbaru dan gaya glamor lainya. Gaya hidup hedonis
ini juga telah merambah ke dalam ruang-ruang kampus, baik negeri maupun swasta.
Mahasiswa lupa menyadari perannya sebagai agen perubahan sosial. Tidak ada lagi
yang berani lantang melawan kediktatoran rezim ini.
Mungkin
mahasiswa sudah terlena dalam zona nyaman, kuliah, nongkrong, bersolek ala
artis. Sehingga mahasiswa seperti berada di menara gading. Tak heran,
suara-suara masyarakat yang tertindas oleh sistem hanya terdengar sayup-sayup
sampai ke telinganya.
Inilah
keberhasilan sistem hari ini, mampu mendesain para pemuda dan mahasiswa yang
Individualis, apatis dan apolitis.
Hal ini semakin
diperparah dengan kondisi kampus yang seolah berganti fungsi menjadi sebuah
pabrik yang memproduksi mahasiswa sebagai komoditi layak
jual. Mereka dituntut harus lulus tepat waktu. Kampus sebagai pabrik yang
merupakan perpanjangtanganan pasar, berusaha mencetak komoditi yang dibutuhkan
pasar. Mencetak mahasiswa agar sesuai dengan kebutuhan konsumen. Maka mahasiswa
dituntut dengan IPK tinggi dan lulus cepat yang menjadi salah satu kriteria
utama untuk menentukan kualitas produk kampus tersebut. Miris memang, namun
seperti inilah realitasnya.
Melihat
kehidupan mahasiswa yang seperti ini, tanpa sadar telah terlupakan peran-peran
besar mahasiswa yang pernah direkam sejarah sebelumnya. Dan sebenarnya para
cendekia muda ini pun secara latah menerobos norma-norma intelektualitas.
***
Masihkah ada harapan bagi gerakan
mahasiswa untuk kembali memainkan perannya?
Yang dibutuhkan hari ini adalah
membangkitkan kembali kesadaran mahasiswa, membangunkan intelektual muda dari
tidur panjangnya. Inilah saatnya membakar lahan yang telah kering sekian lama.
Mahasiswa harus kembali menjadi garda
terdepan sebagai penyambung lidah masyarakat. Tentu melawan dengan sebuah
konsep solusi yang sistemtis, karena hanya bermodal semangat hanya akan
melahirkan gerakan yang pragmatis yang hanya berkutat pada solusi-solusi
parsial, tentu tidak akan menyelesaikan masalah karena problem yang dihadapi
bangsa ini merupakan problem multidimensi. Maka saatnya Mahasiswa terus menerus
berjalan, mencerna, dan refleksi diri.
Mungkin kita perlu menengok kembali
sejarah bangsa ini, atau berbagai peristiwa revolusioner yang selalu diawali dengan
gagasan pemudan dan mahasiswa. Sehingga kita mampu memposisikan gerakan
mahasiswa sebagaimana mestinya. Kawan
mari kesini kembali berpikir, berdiskusi, kita teriakan perlawanan pada setiap
kedzholiman yang terencana, kita ramaikan kembali kampus dengan gagasan-gagasan
Revolusioner. Simpan dulu gadget dan pesona merah jambumu. Redam dulu
pupularitas dan angan-angan panjangmu. Rakyat menunggu kita, bangsa ini menanti
solusi dari kita Mahasiswa. **
0 komentar :
Posting Komentar