Selasa, 22 Maret 2016


MAKALAH“IMPLEMENTASI AKAD MURABAHAH DALAM PERBANKAN SYARIAH”


 Dosen Pengampuh :Dr. Ari Prasetyo, SE, MsiPenyusun :Slamet Arianto (201246291171)SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAHSBI SURABAYAPROGRAM PENDIDIKAN EKONOMI SYARIAH2015






KATA PENGANTAR


Bismillahirrohmaanirrohim,

Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayah serta inayah-Nya, sehingga kami ( penyusun ) dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan sebaik mungkin tanpa ada halangan. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan nabi besar kita nabi Muhammad SAW kepada keluarga, para sahabatnya serta para pengikutnya sampai akhir zaman yang senantiasa mengikuti risalah beliau.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah yang berjudul “IMPLEMENTASI AKAD MURABAHAH DALAM PERBANKAN SYARIAH”. Masih banyak kekurangan yang perlu di perbaiki, hal ini terjadi karena semata-mata karena keterbatasan pengetahuan penulis. Oleh karena itu penulis dalam kesempatan ini kepada siapa saja untuk memberikan saran atau kritikan yang membangun sehingga penulis bisa memperbaiki makalah ini menjadi sempurna.
Dan tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi dalam menyelesaikan makalah ini, atas bantuan dan dukungannya penulis berharap semoga Allah SWT membalasnya dengan ganjaran yang setimpal, aamiin.
Semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya. Selanjutnya segala kesalahan dan kekeliruan dalam makalah ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.


PENULIS,

Surabaya, 9 Januari 2015








DFTAR ISI

Halaman cover
Kata pengantar ............................................................................................................         i
Daftar isi .....................................................................................................................         ii
Bab 1 pendahuluan
Latar belakang ...............................................................................................         1
Rumusan masalah ...........................................................................................       3
Tujuan Penelitian ............................................................................................       3
Manfaat Penelitian ..........................................................................................       3
Bab II pembahasan
A. Landasan Teori  ...............................................................................       4
B. Landasan Syariah Murabahah ......................................................................      7
C. Rukun dan Syarat Murabahah .....................................................................      8
D. Konsep Murabahah dalam Perbankan Syariah ............................................      8
E. Aplikasi Akad Murabahah di Perbankan Syariah ........................................      10
F. Penggunaan Pembiayaan Murabahah di Perbankan Syariah .....................      15
G. Keuntungan dan manfaat Pembiayaan Murabahah ..................................      16
Bab III penutup
Kesimpulan ...................................................................................................        18
Daftar pusataka ............................................................................................        19



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini lembaga keuangan yang berlabel syari’ah berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam. Namun Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah syariah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syariat Islam ataukah hanya rekayasa semata. Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam makalah ini penulis akan membahas salah satu produk tersebut dalam konsep perbankan syariah. Salah satu dari produk tersebut adalah Murabahah.
Di antara begitu banyaknya akad Murabahah adalah salah satu dari bentuk akad jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Karena keuntungan yang menjanjikan itulah Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syariah menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka.
Di samping itu Bank Syariah yang merupakan salah satu aplikasi dari sistem ekonomi syariah Islam dalam mewujudkan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur bidang perekonomian umat yang tidak terpisahkan dari aspek-aspek ajaran Islam yang komprehensif dan universal. Komprehensif berarti ajaran Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual maupun sosial kemasyarakatan termasuk bidang ekonomi, universal bermakna bahwa syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat tanpa memandang perbedaan ras, suku, golongan, dan agama sesuai prinsip Islam sebagai “rahmatan lil alamin”. Bank Syariah yaitu bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Adapun pengertian dari prinsip syariah sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 13 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan sebagai berikut: Prinsip Syariah adalah aturan Hukum Islam antara Bank dengan Pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan dengan syariah, antara lain Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
Perbankan Syariah di samping melakukan penghimpunan dana dari masyarakat, perbankan syariah juga melakukan kegiatan usaha penyaluran dana kepada masyarakat berdasarkan prinsip syariah baik Bank umum Syariah maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dapat melakukan kegiatan usaha penyaluran dana perbankan kepada masyarakat berdasarkan prinsip syariah.
 Penyaluran dana kepada masyarakat tersebut dilakukan berupa pembiayaan dengan mempergunakan prinsip jual beli, bagi hasil, sewa menyewa dan pinjam meminjam. Dengan demikian, produk pembiayaan syariah tersebut sesuai dengan penggunaannya menurut undang-undang Perbankan Syariah UU No.21/2008 pasal 1 ayat 25 dinyatakan:
“ Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang di persamakan dengan itu berupa :
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan Musyarakah.
b. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk Ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah Muntahiya bittamlik. 
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang Murabahah, Salam, dan Istishna.
d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang Qardh dan
e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk Ijarah untuk transaksi Multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan atau Unit-Unit Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan Ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil.













B.  Rumusan Masalah.
Dari latar belakang diatas ada beberapa hal yang penting untuk dibahas, yaitu:
1. Apa pengertian akad Murabahah ?
2. Apa landasan dan dalal akad Murabahah ?
3. Apa saja yang menjadi rukun dan syarat Murabahah ?
4. Bagaimanakah konsep Murabahah dalam perbankan syariah ?
5. Bagaimana implementasi akad perbankan syariah ?

C. Tujuan Penulisan Makalah.
Dari rumusan masalah diatas, penulis memiliki tujuan yang ingin dicapai yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian dari Murabahah.
2. Untuk mengetahui dalil yang menjadi landasan Murabahah.
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat Murabahah.
4. Untuk mengetahui konsep Murabahah dalam perbankan syariah.
5. Untuk mengetahui implementasi akad perbankan syariah.











BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Murabahah

Kata Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan menurut istilah Murabahah adalah salah satu bentuk jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam pengertian lain Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beli Murabahah dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal inilah yang membedakan Murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
Sedangkan dalam istilah fiqih Islam Murabahah yang berarti suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut, dan tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan.
Murabahah dalam istilah fikih klasik merupakan suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang (al-tsaman al-awwal) dan tingkat keuntungan yang diinginkan. Biaya perolehan barang bisa meliputi harga barang dan  biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut. Sedangkan tingkat keuntungan bisa berbetuk lumpsum atau persentase tertentu dari biaya perolehan. Pembayaran oleh pembeli bisa dilakukan secara tunai (naqdan) atau bisa dilakukan di kemudian hari dalam bentuk angsuran (taqshîth) atau dalam bentuk sekaligus (lump  sum/mu‘ajjal) sesuai kesepakatan para pihak yang melakukan akad (al-‘âqidain).
Murabahah masuk kategori jual beli muthlaq dan jual beli amânat. Ia disebut  jual beli muthlaq karena obyek akadnya adalah barang (ain) dan uang (dain). Sedangkan ia termasuk kategori jual beli amânat karena dalam proses transaksinya  penjual diharuskan dengan jujur menyampaikan harga perolehan (al-tsaman al-awwal) dan keuntungan yang diambil ketika akad.
Para ulama telah sepakat (ijmâ’) akan kebolehan akad murabahah, tetapi Alquran tidak pernah secara langsung dan tersurat membicarakan tentang murabahah, walaupun di dalamnya ada sejumlah acuan tentang jual beli dan perdagangan. Demikian  juga tampaknya tidak ada satu hadis pun yang secara spesifik membicarakan mengenai murabahah. Oleh karena itu, meskipun Imam Malik dan Imam Syafii membolehkan jual beli murabahah, tetapi keduanya tidak mempekuat pendapatnya dengan satu hadis pun. Sedangkan dasar hukum yang dijadikan sandaran kebolehan jual beli murabahah di  buku-buku fikih muamalat kotemporer lebih bersifat umum karena menyangkut jual beli atau perdagangan pada umumnya. Namun demikian, menurut al-Kasani jual beli murabahah telah diwariskan dari generasi ke generasi sepanjang masa dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Di samping itu, keberadaan model jual beli murabahah sangat dibutuhkan masyarakat karena ada sebagian mereka ketika akan membeli barang tidak mengetahui kualitasnya maka ia membutuhkan pertolongan kepada yang mengetahuinya, kemudian pihak yang dimintai pertolongan tersebut membelikan barang yang dikehendaki dan menjualnya dengan keharusan menyebutkan harga perolehan (harga beli) barang dengan ditambah keuntungan (ribh).
Sebagai bagian dari jual beli, murabahah memiliki rukun dan syarat yang tidak  berbeda dengan jual beli (al-bai’) pada umumnya.Namun demikian, ada beberapa ketentuan khusus yang menjadi syarat keabsahan jual beli murabahah yaitu:

a.Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal awal (harga  perolehan/pembelian). semuanya harus diketahui oleh pembeli saat akad; dan ini merupakan salah satu syarat sah murabahah
b. Adanya keharusan menjelaskan keuntungan (ribh) yang ambil penjual karena keuntungan merupakan bagian dari harga (tsaman). Sementara keharusan mengetahui harga barang merupakan syarat sah jual beli pada umumnya.
c. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki/hak kepemilikan telah berada di tangan penjual. Artinya bahwa keuntungan dan resiko  barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi dari kepemilikan yang timbul dari akad yang sah.
d. Transaksi pertama (antara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (antara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah), karena murabahah adalah jual beli dengan harga pertama disertai tambahan keuntungan.
e. Hendaknya akad yang dilakukan terhindar dari praktik riba, baik akad yang pertama (antara penjual dalam murabahah sebagai pembeli dengan penjual barang) maupun  pada akad yang kedua antara penjual dan pembeli dalam akad murabahah.

            Pengertian saling menguntungkan disini dapat dipahami, bahwa keuntungan itu adalah bagi pihak pertama, yaitu yang meminta pembelian dan keuntungan bagi pihak kedua (yang mengembalikan). Keuntungan bagi pihak pertama adalah terpenuhi kebutuhannya, dan keuntungan bagi pihak kedua adalah tambahan keuntungan yang ia ambil berdasarkan kesepakatan dengan pihak pertama. Saling menguntungkan, ini harus berlandaskan pada adanya kerelaan kedua belah pihak terhadap jual beli yang mereka lakukan.

Secara istilah banyak defenisi yang diberikan para ulama terhadap pengertian murabahah. Akan tetapi diantara defenisi-defenisi tersebut mempunyai suatu pemahaman yang sama. Dibawah ini peneliti memuat beberapa defenisi tentang murabahah menurut pendapat para ekonom muslim dan juga sebagian ulama, yaitu :
1. Muhammad Syafi’i Antonio, murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam murabahah, penjual harus memberitahu harga pokok yang ia beli dan menentukan tingkat keuntungan yang disepakati.
2. Menurut Adiwarman A. Karim, murabahah (al- ba’ bi tsaman ajil) lebih dikenal sebagai murabahah saja. Murabahah yang berasal dari kata ribhu (keuntungan), adalah transaksi jual beli dimana Bank menyebutkan jumlah keuntungan yang diperoleh. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).
3. Sunarto Zulkifli, Bai’ al-murabahah adalah prinsip bai’ (jual beli) dimana harga jualnya terdiri dari harga pokok barang ditambah nilai keuntungan (ribhun) yang disepakati. Pada murabahah, penyerahan barang dilakukan pada saat transaksi sementara pembayarannya dilakukan secara tangguh atau cicilan.
4. Karnain Perwataatmadja, murabahah berarti barang dengan pembayaran ditangguhkan (1 bulan, 3 bulan, 1 tahun dst). Pembiayaan murabahah adalah pembiayaan yang memberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi. Pembiayaan mirip dengan kredit modal kerja yang bisa diberikan oleh bank-bank konvensional, dan karena pembiayaan murabahah berjangka waktu dibawah 1 tahun (short run finacing).
5. Sutan Remy Sjaddini, murabahah adalah jasa pembiayaan dengan mengambil bentuk transaksi jual beli dengan cicilan. Pada perjanjian murabahah atau mark-up, bank membiayai pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok barang dan kemungkinan menjual kepada nasabah tersebut dengan menambahkan mark-up untung.
6. Yusak Laksmana, murabahah adalah pembiayaan jual beli dimana penyerahan barang dilakukan diawal akad. Bank menetapkan harga jual barang itu harga pokok perolehan barang ditambah sejumlah margin keuntungan bank. harga jual yang telah disepakati diawal akad tidak boleh berubah selama jangka waktu tertentu.
7. Ibnu Rusyd, didalam kitabnya Bidaayatul Al-Mujtahid Wa Al-Nihaayatu Al-Muqtasid, murabahah adalah penjual menyebutkan harga barang yang dibeli kepada pembeli, yang kemudian disyaratkan kepadanya keuntungan dari barang tersebut, baik dalam bentuk dirham maupun dinar. Lebih lanjut dijelaskan Ibnu Rusyd bahwa bentuk jual beli barang dengan tambahan harga atas harga dasar pembelian, berlandaskan sifat kejujuran.
8. Imam Syafi’i didalam kitabnya al-Ulum menyebutkan murabahah ini dengan istilah al-Amir Bi al-Syara’ adalah pembelian barang yang dilakukan oleh orang yang diminati untuk membeli secara tunai oleh orang yang memesan barang untuk kemudian orang yang memesan atau meminta pembelian itu membayar secara angsuran atau cicilan kepada yang diminati.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa murabahah adalah akad jual beli barang dimana Bank sebagai penjual sementara, nasabah sebagai pembeli dengan memberitahukan harga beli dari pemasok dan biaya-biaya lainnya serta menetapkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.   
Dari sudut pandang fiqih, murabahah merupakan akad jual beli atas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan harga dasar pembelian barang kepada pembeli, kemudian penjual tersebut mensyaratkan keuntungan atas harga dasar pembelian.

B. Landasan Syari’ah Akad Murabahah
1. Al-Qur’an
Firman Allah QS. An-Nissa’ : 29

Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”
Firman Allah QS. Al-Baqarah : 275


Artinya :
“..................Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

2. Al-Hadits
Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasullulah Saw bersabda:

“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR. al-Baihaqi, Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)

Dari Suhaib  ar-Rumi r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)

C. Rukun dan Syarat Murabahah

Rukun Murabahah yaitu :
a.Transaktor (pihak yang bertransaksi).
b.Obyek murabahah.
c.Ijab dan kabul.

Syarat Murabahah yaitu :
a. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.
b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c. Kontrak harus bebas riba.
d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e.Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya: jika pembelian dilakukan secara utang. Jadi di sini terlihat adanya unsur keterbukaan.
Secara prinsip, jika syarat dalam (a), (d) dan (e) tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan :

a) Melanjutkan pilihan seperti apa adanya.
b) Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual.
c) Membatalkan kontrak.

D. Konsep Murabahah dalam Perbankan Syari’ah

1. Pengertian dan Makna
Dalam daftar istilah himpunan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Murabahah merupakan bagian terpenting dari jual beli dan prinsip akad ini mendominasi pendapatan bank dari produk-produk yang ada di semua bank Islam. Dalam Islam, jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia yang diridhai oleh Allah Swt.
Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syariah dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:

1) al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’.
2) al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’.
3) Bai’ al-Muwa’adah.
4) al-Murabahah al-Mashrafiyah.
5) al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah.
Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP).

2.Manfaat dan resiko Murabahah kepada Perbankan Syariah
Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), transaksi Murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi.
Murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem Murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah.
Diantara resiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut :

a. Default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
b. Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut.
c. Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila bank telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai resiko untuk menjualnya kepada pihak lain.
d. Dijual; karena Murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika demikian, resiko untuk default akan besar.

Secara umum, aplikasi perbankan dari Murabahah dapat digambarkan dalam skema berikut ini :
1. Ada tiga pihak yang terkait yaitu:
a. Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
b. Penjual barang kepada lembaga keuangan.
c. Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.

2. Ada dua akad transaksi yaitu:
a. Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.
b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).
3. Ada tiga janji yaitu:
a. Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.
b. Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.
c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.

E. Aplikasi Akad Murabahah di Perbankan Syariah
Di Indonesia, aplikasi jual beli murabahah pada perbankan syariah di dasarkan  pada Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Menurut keputusan fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan murabahah pada perbankan syariah adalah sebagai berikut:

a. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
b. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
c. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan  pembelian ini harus sah dan bebas riba.
e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya  jika pembelian dilakukan secara hutang.
f. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga  jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
g. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
h. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak  bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
i. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Selain itu, ketentuan pelaksanaan pembiayaan murabahah di perbankan syariah diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008, sebagai berikut:

a. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksiMurabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli  barang;
b. Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga  perolehan dan spesifikasinya;
c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
d. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character ) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan/atau prospek usaha (Condition)
e. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
f. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah;
g. Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal Pembiayaan atas dasar Murabahah dan tidak berubah selama periode Pembiayaan
h. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis  berupa Akad Pembiayaan atas dasar Murabahah; dan
i. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan  berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.
Atas dasar peraturan yang berkaitan dengan murabahah baik yang bersumber dari fatwa DSN maupun PBI, perbankan syariah melaksanakan pembiayaan murabahah.  Namun demikian, dalam praktiknya tidak ada keseragaman model penerapan pembiayaan murabahah karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Ada beberapa tipe penerapan murabahah dalam praktik perbankan syariah yang kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu:


1. Tipe Pertama
Tipe pertama penerapan murabahah adalah tipe konsisten terhadap fiqih muamalah. Dalam tipe ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh  baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Untuk lebih jelasnya penerapan murabah tipe pertama dapat dilihat pada alur gambar berikut ini:

2. Tipe Kedua
Tipe kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima  barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahahdengan bank. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Transaksi ini lebih dekat dengan murabahah yang asli, tapi rawan dari masalah legal. Dalam beberapa kasus ditemukan adanya klaim nasabah bahwa mereka tidak berhutang kepada bank, tapi kepada pihak ketiga yang mengirimkan  barang. Meskipun nasabah telah menandatangani perjanjian murabahah dengan  bank, perjanjian ini kurang memiliki kekuatan hukum karena tidak ada tanda bukti  bahwa nasabah menerima uang dari bank sebagai bukti pinjaman/hutang. Untuk mengindari kejadian seperti itu maka ketika bank syariah dan nasabah telah menyetujui untuk melakukan transaksi murabahah maka bank akan mentransfer  pembayaran barang ke rekening nasabah (numpang lewat) kemudian didebet dengan persetujuan nasabah untuk ditranfer ke rekening supplier. Dengan cara seperti ini maka ada bukti bahwa dana pernah ditranfer ke rekening nasabah. Namun demikian, dari perspektif syariah model murabahah seperti ini tetap saja  berpeluang melanggar ketentuan syariah jika pihak bank sebagai pembeli pertama tidak pernah menerima barang (qabdh) atas namanya tetapi langsung atas nama nasabah. Karena dalam prinsip syariah akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank . Untuk lebih jelasnya penerapan murabah tipe kedua ini lihat alur gambar berikut ini:

3. Tipe Ketiga
Tipe ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank syariah. Bank melakukan  perjajian Murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya. Dana lalu dikredit ke rekening nasabah dan nasabah menandatangi tanda terima uang. Tanda terima uang ini menjadi dasar bagi bank untuk menghindari klaim bahwa nasabah tidak berhutang kepada bank karena tidak menerima uang sebagai sarana  pinjaman. Tipe kedua ini bisa menyalahi ketentuan syariah jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, sementara akad jual beli murabahah telah dilakukan sebelum barang, secara prinsip, menjadi milik bank. Untuk lebih jelasnya penerapan murabah tipe ketia ini lihat alur gambar berikut ini:

Berbagai tipe praktek jual beli murabahah di atas dilatar belakangi motivasi yang bermacam-macam. Ada kalanya untuk lebih menyederhanakan prosedur sehingga  bank tidak perlu repot-repot membeli barang yang dibutuhkan nasabah tetapi cukup dengan menunjuk atau menghubungi supplier agar menyediakan barang dan langsung mengirimkan ke nasabah sekaligus dengan atas nama nassabah (Tipe II). Atau dengan cara bank langsung memberikan uang ke nasabah kemudian nasabah membeli sendiri  barang yang dibutuhkan dengan melaporkan nota pembelian kepada pihak bank (tipe III). Kedua cara tersebut sering dilakukan perbankan syariah untuk menghindari  pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dua kali yang dinilai akan mengurangi nilai kompetitif produk bank syariah dibandingkan bank konvensional yang dikecualikan dari PPN. Ini terjadi karena dalam jual beli murabahah tipe I, di mana bank terlebih dahulu akan membelikan barang yang dibutuhkan nasabah atas nama bank baru kemudian dijual ke nasabah secara murabahah maka akan terjadi perpindahan kepemilikan dua kali, yaitu dari supplair ke bank dan dari bank ke nasabah.
Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 yang menghapus keberlakuan PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad penghimpunan dan Penyaluran dana Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, pelaksanaan pembiayaan murabahah semakin menempatkan bank syariah semata-mata lembaga intermediary yang bertindak sebagai penyedia dana bukan pelaku jual beli murabahah. Hal ini ditegaskan dalam teks Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS pada point III.3, bahwa ”Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang”. Di lihat dari teks surat edaran ini, jelas ada upaya Bank Indonesia untuk menegaskan bahwa transaksi perbankan syariah yang didasarkan pada prinsip jual beli murabahah tetap merupakan pembiayaan sebagaimana transaksi lainnya yang menggunakan akad mudharabah, musyarakah, salam, istishna, ijarah, dan ijarah muntahiya bit tamlik. 
F. Penggunaan Pembiayaan Murabahah di Perbankan Syariah
Mekanisme pembiayaan murabahah dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal kerja, pembangunan rumah dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah:

a. Pengadaan Barang
Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murabahah, seperti pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk pabrik dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas, ia dapat datang ke bank syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar bank membelikannya. Setelah bank syariah meneliti keadaan nasabah dan menganggap  bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan untuk pengadaan kulkas, bank kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada pemohon, yaitu nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak bank ingin mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-. Jika pembayaran angsuran selama dua tahun, maka nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain memberikan keuntungan kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya administrasi yang jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini menjadi pendapatan fee base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh nasabah adalah biaya asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga.

b. Modal Kerja (Modal Kerja Barang)

Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip  jual beli murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu akad dengan pembelian barang berulang-ulang. Sebenarnya, penyediaan modal kerja  berupa uang tidak terlalu tepat menggunakan prinsip jual beli murabahah. Transaksi  pembiayaan modal kerja dalam bentuk barang atau uang lebih tepat menggunakan  prinsip mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah (penyertaan modal). Karena, jika  pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang menggunakan mekanisme murabahah, maka transaksi ini sama dengan consumer finance (pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur bunga. Transaksi dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan dalam murabahah menggunakan transaksi  jual beli.

c. Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)

Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli murabahah. Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang dibutuhkan untuk renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lainlain. Transaksi dalam pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan  berulang-ulang.
Adapun contoh perhitungan pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:
Tuan A, pengusaha toko buku, mengajukan permohonan pembiayaan murabahah (modal kerja) guna pembelian bahan baku kertas, seniali Rp. 100 juta. Setelah dievaluasi bank syariah, usahanya layak dan permohonannya disetujui, maka bank syariah akan mengangkat Tuan A sebagai wakil bank syariah untuk membeli dengan dana dan atas namanya kemudian menjual barang tersebut kembali kepada Tuan A sejumlah Rp 120 juta, dengan jangka waktu 3 bulan dan dibayar lunas pada saat jatuh tempo. Asumsi penetapan harga jual Rp. 120 juta telah dilakukan: (1) Tawar menawar harga jual antara Tuan A dengan bank syariah. (2) Harga jual yang disetujui, tidak akan  berubah selama jangka waktu pembiayaan (dalam hal ini 3 bulan) walaupun dalam masa tersebut terjadi devaluasi, inflasi, maupun perubahan tingkat suku bunga bank konvensional di pasar.

G. Keuntungan dan manfaat Pembiayaan Murabahah
Skema pembiayaan murabahah yang ditawarkan bank syariah mendapat sambutan dan antusiasme yang tinggi dari masyarakat (nasabah), sehingga skema murabahah merupakan transaksi yang paling banyak diminati dan dipraktikkan dalam operasional perbankan syariah. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: faktor tabiat sosiokultur pertumbuhan ekonomi yang menuntut keberhasilan yang cepat dan menghasilkan keuntungan yang banyak, skema murabahah dengan margin keuntungan merupakan praktik alternatif dari transaksi kredit dengan menggunkan  bunga yang biasa dilakukan oleh bank konvensional, sehingga banyak nasabah yang  biasa melakukan transaksi dengan bank konvensional beralih ke bank syariah untuk melakukan transaksi dengan menggunakan skema murabahah.
Di samping itu, transaksi murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah, antara lain adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah dan skema murabahah sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah.
Selain beberapa manfaat tersebut, transaksi dengan menggunakan skema murabahah juga mempunyai risiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut:

Pertama, default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
Kedua, fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut.
Ketiga, penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila  bank telah mendandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai resiko untuk menjualnya kepada pihak lain.
Keempat, dijual; karena jual beli murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah  bebas melakukan apa pun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian, risiko untuk default akan besar.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Dalil yang menjadi landasan murabahah adalah QS. An-Nissa’: 29, Al-Baqarah: 275 dan beberapa hadits Rasulullah Saw.
Rukun dari murabahah ada 3, yaitu adanya Transaktor (pihak yang bertransaksi); Obyek murabahah; dan Ijab dan kabul.
Sedangkan syaratnya adalah Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah; kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan; kontrak harus bebas riba; Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian; dan Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya: jika pembelian dilakukan secara utang. Jadi di sini terlihat adanya unsur keterbukaan.
Dalam perbankan syariah, murabahah mendominasi pendapatan bank dari produk-produk yang ada di semua bank Islam. Dan di negara Indonesia sendiri dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP); Murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah.










DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya. Surabaya : Al-Hidayah, 2002.
Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
“Konsep dan aplikasi akad murabahah pada perbankan di Indonesia”. http://fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/STUDI_KRITIS.pdf. 9 Januari 2015.

2 komentar :